Jika dari Solo, kita bisa naik bus jurusan Tawangmangu dan turun di Terminal Karangpandan, estimasi biaya Rp 4.000,-
Dari
Terminal Karangpandan, kita dapat naik angkudes menuju Matesih, sebuah
kecamatan di Karanganyar. Berhubung saya naik ojek, saya kurang tahu
apakah angkudesnya langsung menuju Astana Giribangun atau tidak. Tapi
berdasarkan info yang saya peroleh, kita akan turun di terminal Matesih
dan masih naik angkudes lagi menuju Astana Giribangun.
Astana Giribangun, Letak Dan Sejarah
Astana
Giribangun berada di Desa Karang Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Astana Giribangun terletak di lereng barat
Gunung Lawu dengan ketinggian 666,6 mdpl dan berada di bawah makam
Astana Mangadeg, makam para penguasa Mangkunegaran yang berada di 750
mdpl. Perbedaan ketinggian ini ada alasannya karena untuk menghormati
penguasa mangkunegaran dank arena Ibu Tien Soeharto adalah keturunan
Mangkunegoro III.
Astana
Giribangun terdapat beberapa cungkup atau bangunan makam. Cungkup Argo
Sari teletak di tengah-tengah dan paling tinggi, di bawahnya, ada
Cungkup Argo Kembang, dan paling bawah adalah Cungkup Argo Tuwuh.
Di
Cungkup Argo Sarilah terdapat makam Pak Soeharto (terletak di barat
Makam Ibu Tien) beserta makam Ibu Tien (berada paling timur), makam
Fatmanti Soemaharjono (ibunda Ibu Tien Soeharto), makam Soemaharjono
(bapak dari Tien Soeharto) dan makam Siti Hartini Oudang (kakak tertua
Ibu Tien Soeharto). Di dalam Cungkup Argo Sari total ada lima makam. Di
pelataran pendoponya juga terdapat makam – makam lain yang masih kerabat
dengan keluarga Ibu Tien Soeharto.
Astana
Giribangun berada di Desa Karang Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Astana Giribangun terletak di lereng barat
Gunung Lawu dengan ketinggian 666,6 mdpl dan berada di bawah makam
Astana Mangadeg, makam para penguasa Mangkunegaran yang berada di 750
mdpl. Perbedaan ketinggian ini ada alasannya karena untuk menghormati
penguasa mangkunegaran dank arena Ibu Tien Soeharto adalah keturunan
Mangkunegoro III.
Selain sebagai makam Keluarga Cendana, Astana Giribangun juga diperuntukkan untuk pengurus dalam Yayasan ibu Tien Soeharto.
Astana
Giribangun dibangun sejak 27 November 1974. Diresmikan pada 23 Juli
1976 oleh KR Ay. Hatmanti, Ibunda Hj. Tien Soeharto, ditandai dengan
pemindahan jenazah Ayahanda dan kakak kandung Ibu Tien yakni KPH
Soemohardjo dan Siti Hartini. Keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam
Umum Toroloyo.
Astana
Giribangun menjadi sangat terkenal ketika Ibu Tien Soeharto meninggal
pada Minggu, 28 April 1996 dan dimakamkan didalam Cungkup Argo Sari pada
Senin, 29 April 1996. Semenjak itu, ribuan wisatawan berkunjung untuk
berziarah. Jumlahnya rata – rata 3.000 peziarah setiap hari, bahkan pada
hari libur, jumlahnya melonjak hingga 13.000 peziarah dalam satu hari.
Semenjak
reformasi bergulir, Astana Giribangun mulai sepi peziarah. Pamornya
kembali naik ketika Pak Soeharto meninggal pada Minggu, 27 Januari 2008
dan dimakamkan di dalam Cungkup Argo Sari didekat makam ibu Tien pada
Senin, 28 Januari 2008 sesuai dengan wasiat beliau.
Jika
naik kendaraan umum, maka untuk menuju Astana Giribangun, kita harus
melalui jalan yang menanjak. Jika takut capek, kita bisa naik ojek
dengan ongkos Rp 5.000,- sekali jalan. Di luar areal makam terdapat
pedagang bunga dan juga pedagang pakaian dengan kaso bersablon Pak
Harto.
Dari tempat parkir kendaraan, Sebelum
masuk, kita diharuskan melaporkan diri terlebih dahulu [kaya upacara
aja], setelah itu kita akan diberi kertas berisi keterangan anggota
rombongan yang berkunjung. Astana Giribangun merupakan wisata ziarah
yang gratis alias tanpa pungutan biaya, tapi saat lapor, kita akan
ditarik sumbangan sukarela (nggak apa – apa’lah), tapi, kita akan
ditarik sumbangan sukarela lagi saat keluar dari Cungkup Argo Sari
sembari menyerahkan kertas laporan tersebut ke petugas yang jaga disini.
Disinilah arti kata Gratis menjadi Bayar !! Kalau begini lebih baik
ditarik karcis retribusi saja biar transparan. Sebelum
memasuki gapura makam, terlihat jelas aturan/tata tertib yang
berlaku bagi para peziarah.
Setelah melewati gerbang, kita akan menaiki beberapa anak tangga sebelum
akhirnya sampai di pelataran makam. Konon kompleks pemakaman ini
terdiri dari 3 bagian, yakni Argo Tuwuh, Argo Kembang, dan Argo Sari. Yang mana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa dimakamkan di sini.
Argo Tuwuh yang merupakan bagian terluar
diperuntukkan bagi para pegawai dan keluarga karyawan Yayasan Mangadeg
atau keluarga lain dari Mangkunegaran. Sedangkan bagian Argo Kembang
diperuntukkan bagi para pengurus pleno dan seksi dari Yayasan Mangadeg
atau dari keluarga Mangkunegaran yang dianggap berjasa kepada yayasan.
Dan sebelum mencapai Argo Sari, terlebih dahulu kita akan melewati teras Argo Sari.
Di teras Cungkup Argo Sari inilah nantinya
yang akan dijadikan tempat pemakaman bagi anak cucu dan menantu keluarga
Cendana. Saat ini ada beberapa makam yang sudah ada di teras cungkup
Argo Sari ini. Namun apa hubungan mereka dengan Ibu Tien Soeharto saya
kurang jelas. Yang pasti merupakan keluarga dari dalem Kalitan Surakarta
atau keluarga Mangkunegaran.
Dan setelah melewati pintu berukir dengan warna hitam, maka sampailah kita di cungkup Argo Sari.
Cungkup Argo Sari merupakan cungkup utama yang bernuansa bangunan Jawa
kuno. Bentuk bangunan Joglo Surakartanan lengkap dengan ukiran khas
Jepara dengan lantai marmer Tulungagung. Di sini terdapat (dari Timur ke
Barat) makam Ibu Tien Soeharto, makam Mantan Presiden Soeharto, Ibu dan
Bapak dari Siti Hartinah Soeharto, serta adik perempuan Ibu Tien.
Sayang di dalam cungkup Argo Sari ini para peziarah tidak diperbolehkan
mengambil gambar (kecuali jika kita memakai jasa para fotografer amatir
yang ada di situ dengan upah Rp. 20.000,- untuk 1 lembar foto). Namun
sebagai gambaran, makam-makam di dalam cungkup Argo Sari (termasuk makam
Mantan Presiden Soeharto dan Ibu) seperti yang ada di teras cungkup.
Berbatu nisan dari marmer dan dilengkapi dengan payung dan foto
almarhum/almarhumah.
Kita
dilarang foto didalam Cungkup Argo Sari. Jika mau berfoto, ada
petugasnya sendiri dengan tarif Rp 20.000,- Tarif yang mahal menurutku,
karena fotonya sendiri dicetak ukuran 4R, padahal di Prambanan, foto kita dicetak 10R dan ditarik biaya Rp 10.000,- ya udahlah, untuk kenang – kenangan dan mumpung berada di sini.
Habis
selesai difoto disebelah makam Pak Harto, petugas foto muncul lagi dan
kali ini langsung menyuruh kita berfoto di depan makam Bu Tien. Tapi,
tunggu dulu !! Bukannya Rp 20.000,- itu untuk sekali foto ?? Setelah
menginterograsi juru fotonya, ternyata kita akan ditarik lagi biaya
sebesar Rp 20.000,- kalau ditotal menjadi Rp 40.000,- !! Tentu saja kami
menolaknya, tapi kok ga bilang terlebih dahulu tho ??! Bahkan
setelah kami selesai ada rombongan ibu – ibu beserta keluarga mereka
mencak – mencak disuruh bayar Rp 20.000,- untuk berfoto !!
Sembari menunggu hasil cetakan foto [Yang ternyata makam pak Haro dan Bu Tien terpotret jelas sebagai background (Thanx God)] kami menyempatkan diri berfoto di pendopo Argo Sari. Pake blitz
atau enggak, ternyata hasil fotonya blur dan berbayang semua !! Belum
lagi petugas jaganya menyuruh kami agar tidak jeprat – jepret terus
(padahal udah minta izin dan cuma foto 3x aja !!) dan sebelumnya, saat
berada di dalam Cungkup, begitu masuk, kami dipaksa berdoa (Yee, berdoa
kok dipaksa tho pak ??).
Di komplek pemakaman yang dibangun pada tahun 1974 ini juga dilengkapi
dengan sebuah masjid yang unik. Masjid Giribangun memiliki pinti utama
berupa lorong panjang. Selain itu masjid ini juga kelihatam sangat
rendah. Dengan tetap mengusung nuansa Jawa yang penuh dengan ukiran
menambah masjid ini semakin menarik. Lokasinya tepat berada di sebelah
timur kompleks Argo Sari.
Di samping timur bangunan masjid terdapat Wisma Lerem. Tempat inilah
yang dipakai untuk tempat beristirahat bagi anggota keluarga Cendana
yang berziarah ke Astana Giribangun. Sebuah bangunan yang dikelilingi
pohon-pohon yang rindang, merupakan tempat yang pas buat beristirahat.
Selain itu, kita bisa berjalan keliling di luar cungkup Argo Kembang. Di
sisi sebelah selatan kita akan mendapati batu yang menuliskan tanggal
dan tahun pertama kali pembangunan makam Astana Giribangun. Tulisan di
batu marmer itu tertempel pada dinding tembok Argo Kembang.
Dari sini kita bisa melihat bangunan Masjid Giribangun secara utuh. Di
sini juga terdapat beberapa rumah-rumah tanpa dinding yang dipakai untuk
mengaji para peziarah.
Sebelum pulang, kita juga bisa membeli sekedar cindera mata buat kerabat
dan teman-teman kita. Tak jauh dari lokasi parkir kendaraan terdapat
sebuah koperasi yang menawarkan berbagai pernak-pernik bergambar Mantan
Presiden Soeharto. Yang merupakan ciri khas dari Astana Giribangun.
Terlepas
dari kekurangannya, Astana Giribangun sebenarnya sangat cocok dijadikan
sebagai alternatif wisata jika kita berkunjung ke Karanganyar, karena
memiliki pemandangan yang hijau, sejuk serta indah dengan fasilitas
mulai dari kamar kecil, ruang tunggu hingga mushola.
Comments :
0 komentar to “Astana Giribangun”
Post a Comment