Saturday, September 8, 2012

Ziarah Masjid Pintu Seribu






Gerbang sayap kanan, pintu masuk menuju ruang tasbih. Kemarin piknik lagi. Namun kali ini sedikit berbeda, ada sampiran  kata dibelakangnya: Piknik Spiritual :) .  Itu bermula dari cerita my sista  yang bersama teman-teman majelis taklimnya hendak memperingati maulid nabi dengan ziarah. Pilihan mereka dua tempat di Tangerang: Masjid Pintu Seribu dan Pulau Cangkir. Karena masih satu kabupaten dengan rumahku, walaupun dilakukan pada hari kerja, tidak ikut rasanya gimana gituh :). Dengan satu bus, pukul setengah tujuh rombongan 30 orang berangkat dari Cimanggis-Jakarti Timur dengan tujuan utama Masjid Pintu Seribu. Karena ada tausiah selama perjalanan maka aku memutus bergabung dari sana.

Sesampai di halaman masjid baru sadar bahwa  tidak membawa lensa bukaan lebar ternyata suatu kesalahan. Masalahnya bangunan masjid terletak di perkampungan padat. Untuk membuat foto luar bangunan yang relatif utuh, dengan lensa yang kugunakan harus mundur beratus-ratus meter. Sesuatu yang mustahil dilakukan di gang  sempit Kampung Bayur ini. Tapi sudahlah. Tujuan ke sini  kan ziarah, kok masih sempat-sempatnya berkeluh kesah mikirin lensa yang tak dibawa.

Nama asli masjid ini Nurul Yaqin namun lebih terkenal Pintu Seribu karena memang banyak sekali pintu yang terletak pada dinding luar maupun dalam bangunan. Karena banyaknya itu tak ada yang bisa menghitung jumlah pintu secara pasti. Biar lebih mudah disebut saja pintu seribu. Idenya mungkin seperti penamaan Lawang Sewu di Semarang.

Masjid Pintu seribu terdiri dari 2 bangunan. Peziarah disambut di bangunan pertama di sayap kanan. Masuk pintu gerbang aku sudah di buat takjub. Tempatnya gelap, diatas kanopi berkaligrafi arab berbanjar dengan  gambar-gambar orang suci di kiri kanan. Disitu juga ada silsilah keluarga kesultanan Banten.

Belok kanan ada ruang berhiaskan lampu, lukisan, pilar, dan lagi-lagi kaligrafi yang juga berfungsi  sebagai ruang tunggu. Sambil menunggu giliran berwudhu, sebelum masuk ke ruang tasbih, aku meninjau satu persatu pintu kecil yang menghubungkan ruang tunggu dengan ruang lebih  kecil di sebelahnya. Aneka corak gambar yang terlukis di dining menurutku tak melulu serius dan arab. Ada unsur kekanak-kanakan pada kekanakan yang ceria di dalamnya. Malah saat memandangi sebuah pilar pikiranku hanyut pada  buku cerita anak-anak Pocahontas. Menurut keterangan ruangan tersebut digunakan untuk berzikir.

Melihat aktivitasku yang tampak lebih asyik mengagumi efek  visulisasi ketimbang tujuan sebernarnya dari perjalanan ini kakakku tampaknya sedikit kuatir. Dia  manggil-manggil mulu. Mungkin takut adiknya hilang dan tersesat di lorong-lorong yang tampak sekilas seperti serba rahasia hehehe..

Sampai di ruang tasbih kami  duduk tertib mengikuti petugas masjid berdoa di dekat tasbih besar terbuat dari kayu. Disitu juga ada beduk yang tampaknya amat tua. Mungkin beduk pertama dari mesjid ini. Di halaman yang dipisahkan oleh tembok pilar batu kecil terdapat dua makam. Yang satu di kelambui yang satunya lagi tidak. Tapi dua-duanya di tutup kain putih. Tadinya kukira makam pendiri masjid yaitu Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al-Muqoddam atau senang menyebut dirinya dengan Al-Faqir saja. Eh setelah konsultasi pada Mbah Google ternyata bukan. Menurut cerita, setelah mesjid ini setengah jadi Al-Faqir menghilang begitu saja. Dan makam yang kemarin kulihat adalah milik anak-anaknya.

Jujur, sekalipun sangat ingin aku tak bertanya soal sejarah mesjid ini pada guide kami. Di tengah suasana khusuk berdoa begitu merasa tak pantas bertanya ini itu. Ayo disini engkau bukan wisatawan tapi penziarah, kendalaikan diri, jangan mikirin duniawi mulu. Itu perintahku pada diri sendiri.

Usai dari ruang tasbih, mas pengurus mesjid membawa kami ke bangunan sebelah. Masuk melalui pintu kecil, menelusuri labiran kelok-kelok labirin, sempit, lembab, gelap gulita menuju ruang I’tikaf. Kalau lampu senter dari belakang tak menyala, aku tak bisa melihat tangan sendiri. Disini cameraku ngambek pula gak mau kerja. Maklum lupa setel night mode. Tapi berhasil menyalakan lampu flash untuk menerangi jalan sesekali.

Di ruang i’tikaf ini ada lampu. Namun setelah semua duduk rapi, lelaki dan perempuan terpisah, mas petugas mematikan lampu. Alamak gulitanya benar-benar hitam pekat. Setelah beberapa saat kami dituntun membaca surah-surah pendek. Setelah itu disuruh bayangkan begitulah kira-kira suasana dalam kubur. Pengap, panas, gelap dan sendirian.

Jujur lagi, suasana tersebut tak berhasil membangkitkan sense my spirituality. Kalau bermaksud membuatku menangis seperti beberapa orang di ruang itu, buku-buku cerita yang pernah kubaca jauh lebih dahsyat menggambarkan kengerian dari rasa sepi, terjepit dan entah kepada siapa mengadu. Hanya setelah beberapa lama, ketika pendar-pendar ungu mirip bunga dan beruba-ubah bentuknya setiap aku mengedipkan mata,  sesuatu mulai bergolak di dalam sana. Ketika serat-serat benang ungu yang mirip  kepulan terakhir dari asap rokok diudara, hidungku mulai berlendir. Dan air mata pun menitik satu persatu. Lantunan ayat-ayat Al Quran tertinggal di belakang. Begitu pula isak tangis penzirah lain. Aku menangis sambil tersenyum,  mengikuti  asap ungu yang menari kian kemari dengan latar belakang kegelapan yang maha luas itu. Rasanya ini lah air mata dan senyuman paling tidak memerlukan penjelasan yang pernah kulakukan. Rasanya Tuhan begitu dekat. Bahkan rasanya aku dapat menyentuh-Nya.

Aku tahu bahwa pertunjukan bunga ungu itu lahir dari halusinasi saat mata kita tak bisa menangkap bayangan apapun. Tapi kenapa harus bunga dan warnanya ungu pula? Tak hendak kucari jawabnya. Biarkan tertingal di ruang gelap di bawah mesjid pintu seribu, untuk di temukan penziarah berikutnya. Dan sungguh saat jiwa terasa plong dan batin begitu damai, tanpa beban, aku tak memerlukan penjelasan apapun. Seperti juga   aku tak membutuhkan alasan apapun untuk bahagia.





sumber :Jejak Cerita Wisata



This share facebook

Comments :

Comments
0 Comments

0 komentar to “Ziarah Masjid Pintu Seribu”


Post a Comment

 
create logo

About Me