Sesampai di halaman masjid baru sadar bahwa tidak membawa lensa
bukaan lebar ternyata suatu kesalahan. Masalahnya bangunan masjid
terletak di perkampungan padat. Untuk membuat foto luar bangunan yang
relatif utuh, dengan lensa yang kugunakan harus mundur beratus-ratus
meter. Sesuatu yang mustahil dilakukan di gang sempit Kampung Bayur
ini. Tapi sudahlah. Tujuan ke sini kan ziarah, kok masih sempat-sempatnya berkeluh kesah mikirin lensa yang tak dibawa.
Nama asli masjid ini Nurul Yaqin namun lebih terkenal Pintu Seribu
karena memang banyak sekali pintu yang terletak pada dinding luar maupun
dalam bangunan. Karena banyaknya itu tak ada yang bisa menghitung
jumlah pintu secara pasti. Biar lebih mudah disebut saja pintu seribu.
Idenya mungkin seperti penamaan Lawang Sewu di Semarang.
Masjid Pintu seribu terdiri dari 2 bangunan. Peziarah disambut di
bangunan pertama di sayap kanan. Masuk pintu gerbang aku sudah di buat
takjub. Tempatnya gelap, diatas kanopi berkaligrafi arab berbanjar
dengan gambar-gambar orang suci di kiri kanan. Disitu juga ada silsilah
keluarga kesultanan Banten.
Belok kanan ada ruang berhiaskan lampu, lukisan, pilar, dan lagi-lagi
kaligrafi yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu. Sambil menunggu
giliran berwudhu, sebelum masuk ke ruang tasbih, aku meninjau satu
persatu pintu kecil yang menghubungkan ruang tunggu dengan ruang lebih
kecil di sebelahnya. Aneka corak gambar yang terlukis di dining
menurutku tak melulu serius dan arab. Ada unsur kekanak-kanakan pada
kekanakan yang ceria di dalamnya. Malah saat memandangi sebuah pilar
pikiranku hanyut pada buku cerita anak-anak Pocahontas. Menurut
keterangan ruangan tersebut digunakan untuk berzikir.
Melihat aktivitasku yang tampak lebih asyik mengagumi efek
visulisasi ketimbang tujuan sebernarnya dari perjalanan ini kakakku
tampaknya sedikit kuatir. Dia manggil-manggil mulu. Mungkin takut
adiknya hilang dan tersesat di lorong-lorong yang tampak sekilas seperti
serba rahasia hehehe..
Sampai di ruang tasbih kami duduk tertib mengikuti petugas masjid
berdoa di dekat tasbih besar terbuat dari kayu. Disitu juga ada beduk
yang tampaknya amat tua. Mungkin beduk pertama dari mesjid ini. Di
halaman yang dipisahkan oleh tembok pilar batu kecil terdapat dua makam.
Yang satu di kelambui yang satunya lagi tidak. Tapi dua-duanya di tutup
kain putih. Tadinya kukira makam pendiri masjid yaitu Mahdi Hasan
Al-Qudratillah Al-Muqoddam atau senang menyebut dirinya dengan Al-Faqir
saja. Eh setelah konsultasi pada Mbah Google ternyata bukan. Menurut
cerita, setelah mesjid ini setengah jadi Al-Faqir menghilang begitu
saja. Dan makam yang kemarin kulihat adalah milik anak-anaknya.
Jujur, sekalipun sangat ingin aku tak bertanya soal sejarah mesjid
ini pada guide kami. Di tengah suasana khusuk berdoa begitu merasa tak
pantas bertanya ini itu. Ayo disini engkau bukan wisatawan tapi
penziarah, kendalaikan diri, jangan mikirin duniawi mulu. Itu perintahku
pada diri sendiri.
Usai dari ruang tasbih, mas pengurus mesjid membawa kami ke bangunan
sebelah. Masuk melalui pintu kecil, menelusuri labiran kelok-kelok
labirin, sempit, lembab, gelap gulita menuju ruang I’tikaf. Kalau lampu
senter dari belakang tak menyala, aku tak bisa melihat tangan sendiri.
Disini cameraku ngambek pula gak mau kerja. Maklum lupa setel night
mode. Tapi berhasil menyalakan lampu flash untuk menerangi jalan
sesekali.
Di ruang i’tikaf ini ada lampu. Namun setelah semua duduk rapi,
lelaki dan perempuan terpisah, mas petugas mematikan lampu. Alamak
gulitanya benar-benar hitam pekat. Setelah beberapa saat kami dituntun
membaca surah-surah pendek. Setelah itu disuruh bayangkan begitulah
kira-kira suasana dalam kubur. Pengap, panas, gelap dan sendirian.
Jujur lagi, suasana tersebut tak berhasil membangkitkan sense my spirituality.
Kalau bermaksud membuatku menangis seperti beberapa orang di ruang itu,
buku-buku cerita yang pernah kubaca jauh lebih dahsyat menggambarkan
kengerian dari rasa sepi, terjepit dan entah kepada siapa mengadu. Hanya
setelah beberapa lama, ketika pendar-pendar ungu mirip bunga dan
beruba-ubah bentuknya setiap aku mengedipkan mata, sesuatu mulai
bergolak di dalam sana. Ketika serat-serat benang ungu yang mirip
kepulan terakhir dari asap rokok diudara, hidungku mulai berlendir. Dan
air mata pun menitik satu persatu. Lantunan ayat-ayat Al Quran tertinggal di belakang. Begitu pula isak
tangis penzirah lain. Aku menangis sambil tersenyum, mengikuti asap
ungu yang menari kian kemari dengan latar belakang kegelapan yang maha
luas itu. Rasanya ini lah air mata dan senyuman paling tidak memerlukan
penjelasan yang pernah kulakukan. Rasanya Tuhan begitu dekat. Bahkan
rasanya aku dapat menyentuh-Nya.
Aku tahu bahwa pertunjukan bunga ungu itu lahir dari halusinasi saat
mata kita tak bisa menangkap bayangan apapun. Tapi kenapa harus bunga
dan warnanya ungu pula? Tak hendak kucari jawabnya. Biarkan tertingal di
ruang gelap di bawah mesjid pintu seribu, untuk di temukan penziarah
berikutnya. Dan sungguh saat jiwa terasa plong dan batin begitu damai,
tanpa beban, aku tak memerlukan penjelasan apapun. Seperti juga aku
tak membutuhkan alasan apapun untuk bahagia.
sumber :Jejak Cerita Wisata
Comments :
0 komentar to “Ziarah Masjid Pintu Seribu”
Post a Comment